ASSALAMU'ALAIKUM. WR.WB

SELAMAT DATANG DI BLOGGER SITI ZUBAIDAH, SEMOGA BISA MENJADI BERMANFAAT BAGI KITA SEMUA. AMIN......
SALAM SEJAHTERAH DAN SELALU SEMANGAT UNTUK MENYONGSONG MASA DEPAN YANG DI IMPIKAN................

Kamis, 22 Desember 2011

SEJARAH PERS

1.      Sejarah Pers Kolonial
Pers Kolonial adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Belanda di Indonesia pada masa kolonial/penjajahan. Pers kolonial meliputi surat kabar, majalah, dan koran berbahasa Belanda, daerah atau Indonesia yang bertujuan membela kepentingan kaum kolonialis Belanda.
2.      Sejarah Pers China
Pers Cina adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Cina di Indonesia. Pers Cina meliputi koran-koran, majalah dalam bahasa Cina, Indonesia atau Belanda yang diterbitkan oleh golongan penduduk keturunan Cina.
3.      Sejarah Pers Nasional
Pers Nasional adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Indonesia terutama orang-orang pergerakan dan diperuntukkan bagi orang Indonesia. Pers ini bertujuan memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia di masa penjajahan. Tirtohadisorejo atau Raden Djokomono, pendiri surat kabar mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910 berkembang menjadi harian, dianggap sebagai tokoh pemrakarsa pers Nasional.
4.      Sejarah Pers kaum pribumi
Sikapnya ini telah memengaruhi surat kabar bangsa pribumi yang terbit sesudah itu. Hal ini terbukti dari keberanian dia menulis kalimat yang tertera di bawah judul koran tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah di Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata terperintah di atas konon telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah bangsa yang dijajah. Boleh jadi Tuan Tirto terinspirasi oleh kebebasan berbicara para pembesar pemerintah tersebut di atas. Rupanya dia berpendapat, bahwa yang bebas buka suara bukan beliau-beliau saja, namun juga rakyat jelata alias kaum pribumi. Hadirnya Medan Prijaji telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.
5.      Pers pasca kemerdekaan
Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, dari kota sampai ke pelosok telah terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang, termasuk pers. Yang direbut terutama adalah peralatan percetakan. Perebutan kekuasan semacam ini telah terjadi di perusahaan koran milik Jepang, yakni Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung) dan Sinar Baroe (Semarang). Dan pada tanggal 19 Agustus 2605 (tahun Jepang) koran-koran tersebut telah terbit dengan mengutamakan berita sekitar Indonesia Merdeka. Dalam koran-koran Siaran Istimewa itu telah dimuat secara mencolok teks proklamasi. Kemudian beberapa berita penting seperti "Maklumat Kepada Seluruh Rakyat Indonesia", "Republik Indonesia Sudah Berdiri", "Pernyataan Indonesia Merdeka", "Kata Pembukaan Undang-Undang Dasar", dan lagu "Indonesia Raya". Di bulan September sampai akhir tahun 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya Soeara Merdeka (Bandung) dan Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia. Dimasa itulah koran dipakai alat untuk mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Sekalipun masih mendapat ancaman dari tentara Jepang, namun dengan penuh keberanian mereka tetap menjalankan tugasnya. Dalam masa klas pertama tahun 1947, pers Indonesia terbagi dua. Golongan pertama tetap bertugas di kota yang diduduki Belanda. Dan golongan kedua telah mengungsi ke pedalaman yang dikuasai RI. Sekalipun aktif di wilayah musuh, yang selalu dibayangi ancaman pemberedelan dan bersaing dengan koran Belanda, golongan pertama tetap menerbitkan koran yang berhaluan Republikein. Yang terkenal di masa itu antara lain Merdeka, Waspada, dan Mimbar Umum. Demikian pula yang bergerilya ke pedalaman, dengan peralatan dan bahan seadanya, koran mereka senantiasa menjaga agar jiwa revolusi tetap menyala. Di masa itu telah beredar koran kaum gerilya, yakni Suara Rakjat, Api Rakjat, Patriot, Penghela Rakjat, dan Menara. Koran-koran ini dicetak di atas kertas merang atau stensil dengan perwajahan yang sangat sederhana.
6.      Pers Pancasila: Produk Asli Indonesia
Pada era Orde Baru, pemerintahan Soeharto secara cerdik berhasil merumuskan sistem pers baru yang “orisinil” yakni Pers Pancasila, satu labelisasi gaya Indonesia dari konsep development journalism (atau dalam kategori Siebert, Peterson, dan Schramm termasuk dalam jenis social responsibility pers). Konsep “Pers Pembangunan” atau “Pers Pancasila” (sering didefinisikan sebagai bukan pers liberal juga bukan pers komunis) secara resmi dirumuskan pertama kali dalam Sidang Pleno Dewan Pers ke-25 di Solo pada pertengahan 1980-an.
Rumusan tersebut berbunyi: Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila , dalam arti pers yang orientasi sikap dan tingkah lakunya berdasar nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila, dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 45 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri. Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Melalui hakekat dan fungsi itu Pers Pancasila mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggungjawab.
Istilah Pers Pancasila merupakan cerminan keinginan politik yang kuat dan ideologisasi korporatis saat itu yang menghendaki pers sebagai alat pemerintah. Akibatnya fungsi pers sebagai “penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif”—seperti didefinisikan dalam Pers Pancasila, tidak bias terwujud. Pers Indonesia periode akhir 1970-an hingga 1998 semata-mata menjadi corong (mouthpiece) pemerintah, kehilangan independensi dan fungsi kontrolnya.
Berbagai pembatasan yang dibuat rezim Soeharto membuat wartawan tak bebas menulis. Pada era ini lah muncul apa yang disebut—secara sinis—sebagai “budaya telepon”. Peringatan melalui telepon ini bias dilakukan oleh siapa saja di kalangan aparat pemerintah, untuk mencegah media menulis laporan tertentu yang tidak disukai pemerintah. Selain itu pada pertengahan 1980-an juga mulai lazim kebiasaan pejabat militer dan pemerintah berkunjung ke kantor redaksi media cetak untuk memberikan “informasi penting” dan ketentuan tak tertulis apa yang boleh dan tidak boleh ditulis. Berbagai bentuk sensorsip ini mendorong pengelola media menggunakan gaya bahasa eufimistik untuk menghindarkan teguran dan pembredelan. Lebih jauh lagi pers Indonesia semakin pintar untuk melakukan swa-sensor (self censorship). Akibatnya sebagian besar media cetak saat itu bisa dikatakan menjadi corong pemerintah. Apapun yang dikatakan pejabat tinggi pemerintah dan militer akan dicetak dan dijadikan laporan utama (headline) oleh pers.
Pers dan wartawan yang tidak bebas, ikut mengajarkan rasa takut terhadap kebebasan pada masyarakat. Atau setidaknya mereka bersikap masa bodoh, sejauh keuntungan ekonomi masih diperoleh. Di era rezim Soeharto, sejak pertengahan 1980-an, pers Indonesia mulai mencicipi buah keuntungan era pers industri. Dalam pers industri, bisnis informasi ternyata menjanjikan keuntungan besar, dan tingkat kesejahteraan wartawan menjadi semakin baik. Namun keuntungan finansial itu berbanding terbalik dengan kepedulian sosial yang makin menumpul. Peningkatan oplah dan perolehan iklan menjadi tujuan. Akibatnya yang menjadi prioritas pers Indonesia—didukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah perolehan keuntungan, bukan kualitas berita.
Konsentrasi untuk mendapat keuntungan besar dan kesejahteraan materi dari bisnis pers menjadi semacam eskapisme bagi wartawan. Karena dalam situasi represif, sulit bagi wartawan untuk bisa mengeksplorasi kemampuan jurnalistiknya. Apalagi dengan adanya “hantu” pencabutan lisensi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Izin SIUPP benar-benar seperti nyawa bagi pers, dan pemerintah adalah malaikat yang siap mencabut nyawa itu setiap waktu. Pencabutan SIUPP menjadi momok yang menakutkan bagi pers.
Terlebih-lebih saat itu sangat sulit untuk memperoleh SIUPP. Kriteria untuk mendapat SIUPP tidak jelas, dan menjadi rahasia umum, kalangan yang dekat dengan kekuasaan saja lah yang bisa mendapat SIUPP baru. Sehingga muncul dugaan SIUPP sengaja dijadikan alat untuk menyeleksi kepemilikan pers. Selain itu, ketika pemerintah (Departemen Penerangan), pada akhir 1980an, memutuskan untuk tidak lagi menerbitkan SIUPP baru, selembar kertas perizinan itu nilainya menjadi amat mahal untuk diperjualbelikan. Melalui sistem lisensi ini lah negara (pemerintah) menguasai “ruang publik”, bukan saja media massa harus mendapat ijin agar terbit, rapat-rapat dan pertemuan publik (lebih dari lima orang) juga harus mendapat ijin.
Ruang publik tersebut adalah “wilayah” yang bebas dari kontrol negara dan modal. Setiap anggota masyarakat dapat saling berinteraksi, belajar dan berdebat tentang masalah-masalah publik tanpa perlu risau adanya campur tangan penguasa (politik dan ekonomi). Dan media massa merupakan salah satu ruang publik yang paling efektif untuk sarana itu. Namun, di Indonesia, ruang publik (media) telah dikuasai negara, akibatnya dalam praktek jurnalisme di Indonesia, para wartawan lebih menempatkan ucapan pejabat, jenderal dan tokoh bisnis. Selain karena demi keamanan kelanjutan penerbitan, juga berangsur-angsur muncul anggapan bahwa ucapan pejabat pemerintah memberikan legitimasi yang kuat terhadap berita.
Praktek jurnalisme semacam itu (news talking) selain aman juga lebih mudah dilakukan oleh para wartawan juga menguntungkan bagi perusahaan pers, karena meminimalisir biaya yang harus dikeluarkan dalam proses peliputan berita. Sebaliknya, praktek news talking memberikan peluang besar bagi para politisi (dan pengamat) untuk memanipulasi berita. Akibat lebih jauh dari praktek jurnalisme ini adalah trend menonjolnya peran hubungan masyarakat (Humas) kantor pemerintah dan perusahaan swasta yang siap menyediakan “segala informasi” untuk membantu kerja wartawan.
Dengan maraknya “jurnalisme humas”, menyebabkan masyarakat semakin sulit memperoleh informasi yang benar tentang berbagai persoalan. Satu penelitian yang diadakan oleh Rizal Mallarangeng pada awal 1990 terhadap dua harian berpengaruh di Indonesia (Kompas dan Suara Karya) memperlihatkan besarnya ketergantungan dua media tersebut terhadap narasumber pejabat pemerintah atau birokrat. Sekitar 89,1 % berita Suara Karya dan 69,1 % berita bersumber dari pernyataan birokrat dan pejabat. Sedangkan menyangkut orientasi pemberitaan, sekitar 86,6% berita Suara Karya dan 78.9% berita di Kompas berisi dukungan terhadap kebijakan pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar