Masalah politik adalah segala
sesuatu yang berubungan dengan kekuasaan , pemerintahan, lembaga-lembaga dan
proses politik, hubungan internasional, dan tata pemerintahan.[1]
1.
Politik
Islam Masa Penjajahan
a.
Masa
Penjajahan Belanda
Pada tahun 1755 VOC berhasil menjadi pemegang hegemoni politik
pulau Jawa dengan perjanjian Giyanti, karena itu raja Jawa kehilangan kekuasaan
politiknya. Bahkan kewibawaan raja sangat tergantung kepada VOC. Rakyat
kehilangan kepemimpinan, sementara penguasaan kolonial sangan menghimpit
kehidupan mereka. Rakyat ketakutan dan kesulitan menghadapi penindasan yang
terjadi sampai abad ke-14. Dalam kondisi seperti ini rakyat mencari pemimpin
yang nonformal (para ulama’ dan kiai atau bangsawan) yang masih memerhatikan
mereka.
Keresahan dan penderitaan rakyat akibat kondisi itu mendorong para
kiai, ulama;, atau haji untuk menghimpun rakyat tampil sebagai pemimpin dengan
cara menghubungi beberapa pesantren. Melalui khutbah-khutbahnya mereka membantu
rakyat melepaskan diri dari tindakan pemerasan Belanda dengan melakukan perang
jihad.
Di kalangan rakyat, makin berkuasanya kolonial dirasakan sangat
berat karena terjadi eksploitasi hasil bumi rakyat untuk kepentingan VOC. Dalam
kondisi seperti itu rakyat bergabung kepada pemimpin nonormal yang menggalang
rakyat untuk melawan dan berjuang atas nama agama. Terjadilah perang Padri
(1821-1837), dipelopori Imam Bonjol dibantu dengan delapan ulama; yang bergelar
Harimau nan Salapan, perang aceh (1873-1904) dipimpin Panglima Polim yang didukung
oleh para ulama, haji, dan muslim Aceh.[2]
b.
Masa
Penjajahan Jepang
Tahun 1938-1945 terjadi perang dunia II antara Jerman, Itali, dan
Jepang berhadapan dengan sekutu yang terdiri dari Inggris, Prancis, Rusia dan
ditambah Amerika. Front Pasifik meletus tanggal 8 Desember 1941 ketika Amerika
Serikat membuka Front baru menghadapi Jepang yang menjatuhkan bom di Pearl
Harbour, sebuah pangkalan Amerika. Hindia Belanda (Nusantara) dibawah jajahan
Belanda melalui pidato Ratu Wilhelmina mengumumkan perang kepada Jepang.
Jepang ingin menghilangkan kebangsaan Indonesia menjadi Nippon.
Untuk mempercepat usaha itusegala cara ditempuh, yaitu dengan cara sebagai
berikut:
1)
Membersihkan
kebudayaan barat, kebudayaan Islam diganti dengan kebudayaan Jepang.
2)
Mengubah
sistem pendidikan
3)
Membentuk
barisan pemuda
4)
Memobilisasi
pemimpin Islam
5)
Membentuk
organisasi Islam
Tindakan Jepang
yang kejam ternyata ada segi positifnya bagi Muslimin Indonesia.
Tindakan-tindakan yang bernilai positif itu diantara lain sebagai berikut:
1)
Mendamaikan
antara kaum “maju” (pembaru) dengan kaum bertahan (tradisionalis)
2)
Memberi
kesempatan kepada ulama untuk mengalami pendidikan politik dengan menjadi
pemimpin suatu organisasi besar yang menyeluruh yang didukung oleh berbagai
macam aliran, telah memberikan pengalaman baru bagi para ulama
3)
Memberi
kesempatan kepada ulama untuk menjadi administratur
4)
Mempersatukan
sistem pendidikan
5)
Memberikan
latihan dan keterampilan kepada pemuda-pemuda serta mempersiapkan diri menjadi
kader-kader bangsa
6)
Mempersatukan
bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional
7)
Membentuk
organisasi Masyumi dan Hisbullah yang menjadi salah satu cikal bakal TNI
8)
Mendirikan
sekolah tinggi Islam
2.
Politik
Islam Masa Kemerdekaan
a.
Masa
Revolusi
Keadaan perang Asia Timur berkembang sangat cepat. Rusia menyusul
pengumuman perang kepada Jepang, sehingga Jepang mengalami Kekalahan demi
kekalahan. Dalam pertemuan dengan Terauchi itu Soekarno, Hatta, dan Dr.
Radjiman mendapat jaminan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak menjadi masalah
lagi, waktunya terserah mereka. Jepang akan membantu kapan saja Indonesia siap.
Dengan dibacakannya Proklamasi berarti Indonesia telah merdeka. Proklamasi
mendapat dukungan massa rakyat dari segala lapisan, tetapi negara-negar
besar pemenang perang dunia II (Amerika
Serikat dan Inggris) justru mengakui kedaulatan Belanda. Proklamasi lahir saat
kekuatan militer jepang masih nyata, maka tindakan yang kadang-kadang spontan,
seketika dan revolusioner sering menimbulkan keguncangan.
Ada beberapa pola peristiwa yang saling berkaitan yang perlu
dibedakan, yaitu sebagai berikut:
1)
Ada
tindakan kehati-hatian untuk mendapatkan format politik dan struktur
pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan revolusi serta cocok untuk menghadapi
kemungkinan terjadinya perang kemerdekaan
2)
Ada
berbagai corak tindakan revolusioner dari para pemuda dan rakyat
3)
Pemuda
yang membentuk barisan perjuangan dan menyaberkan berita serta pesan proklamasi
4)
Pemuda
yang melakukan pengambilalihan kantor-kantor pemerintah, sehingga berbagai
peristiwa yang disebut Hatta “perang bendera”
terjadi dimana-mana
5)
Pemuda
berusaha mendapatkan senjata Jepang
Para pemikir
Islam menyatakan bahwa memangul senjata melawan penjajah untuk membela negara
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari agama. Sikam mereka itu
menentukan perjuangan masa revolusi.
b.
Masa
Mempertahankan Kemerdekaan
Dengan
keterbatasan alat komunikasi dan transportasi, proklamasi kemerdekaan tidak
dapat diketahui serentak diseluruh wilayah Indonesia. Namun proklamasi
beransur-ansur sampai kepada rakyat di daerah mulai dari kota ke desa-desa
sekitar. Sekalipun tanpa komando, proklamasi kemerdekaan disambut
gegap-gempita. Sebagai penduduk kota, terutama para pemuda dan
pemimpin-pemimpinnya, mengetahui apa yang harus dikerjakan, yaitu
mempertahankan proklamasi yang kadang-kadang muncul dengan caranya
sendiri-sendiri.
3.
Politik
Islam Masa Orde Lama
Sejak masa Demokrasi terpimpin, Indonesia mengalami masa yang
disebut orde lama. Dengan diperlakukannya Demokrasi Terpimpin berarti peranan
partai dihapus, namun Soekarno jalan terus. Oleh karena itu, M. Hatta
menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 1 Desember 1956.
Situasi politik sejak saat itu semakin kacau, terutama masyarakat di luar jawa.
Simpati kepada Hatta cenderung menjadi sikap anti kepada pemerintah pusat
Jakarta.
Pada tanggal 5 Juli 1958 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit
Presiden RI/PanglimaTertinggi Angkatan perang. Isi Dekrit adalah:
a.
Pembubaran
Majelis Konstituante
b.
Kembali
ke UUD 1945 dan mencabut UUD sementara
c.
Membentuk
majelis Premusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri dari anggota DPR ditambah
utusan daerah dan golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Aguang
sementara
Pada
masa Demokrasi terpimpin, masyumi dan PSII dibubarkan. Akan tetapi masih ada
wakil umat Islam di parlemen, yaitu NU. Mimpi Soekarno tentang Indonesia yang
damai dan tenteram dalam sistem demokrasi telah bubar. Tahun 1966, aksi pemuda, mahasiswa dan pelajar bersama
ABRI berhasil menurunkan Soekarno dan membubarkan PKI serta melarang semua
ajaran komunis Indonesia. Ini membuktikan bahwa demokrasi terpimpin tidak pas
untuk Indonesia.
4.
Politik
Islam Masa Orde Baru
Pada masa orde baru, umat Islam berhasil menggalang pesatuan. Orde
baru mengalami banyak perubahan. Restrukturisasi politik, dilakukan tidak hanya
dalam penyederhanaan partai politik tetapi juga dalam bentuk penyadaran
pentingnya persatuan.
Menjelang diperlakukannya asas tunggal, semua umat Islam banyak
yang cemas karena UU No. 8/1985 mewajibkan semua ormas mencantumkan asas lain
sebagai ciri khas atau idetitas sendiri. Setelah asas tunggal diterima oleh
umat Islam. Umat Islam mulai berjuang untuk berbagai masalah. Pada awal-awal
masa orde barupemerintah mengumumkan monopoli pengelolaan perjalanan haji
Indonesia. Hasil ini tidak masalah karena sebelumnya pengelolaan haji memang
memerlukan penanganan yang lebih rapi.
Semua kemajuan umat Islam pada masa orde baru ini sebenarnya adalah
sesuatu yang diluar kemampuan pengawasan Soeharto dan aparatnya. Sebab Soeharto
dengan kekuatan ABRI-nya sebenarnya merekayasa segala macam cara, bahkan dengan
kekerasan sehingga berkuasan selama 32 tahun. Dan pada tanggal 21 Mei 1998
Soeharto resmi mengundurkan diri dan melatik Habibie, yang merupakan Wakil
Presiden waktu itu, menjadi Presiden RI.
5.
Politik
Islam Masa Reformasi
Jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan korup membawa
harapan munculnya pemerintahan pasca Orde Baru yang demikratis. Hal ini
tercemin dari kebebasan mendirikan partai politik tercatat pada 48 partai baru
yang mengikuti pemilu 1999, termasuk didalamnya partai-partai Islam. Keadaan
ini juga memengaruhi ulama untuk kembali aktif di dunia politik dengan terjun
langsung untuk memenangkan partai tertentu sesuai dengan posisinya.
Kehadiran ulama dalam politik seharusnya berdampak positif, dalam
pengertian memberikan sumbangan bagi terciptanya banguanan struktur politik
yang bermoral, karena ulama adalah simbol moral. Namun, ketika ulama itu
terpolarisasi sedemikian rupa, sehingga sering antara seorang ulama dengan
ulama lain sering berhadapan dengan membela partainya masing-masing. Kondisi
ini akan menimbulkan perpecahan dan dampaknya membingungkan rakyat, paling
tidak akan memperlemah kekuatan umat Islam sendiri yang akhirnya sering
dimanfaatkan oleh golongan (partai) lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar